Postingan

Bapak adalah orang paling tegar sekaligus paling keras kepala yang pernah saya kenal dalam hidup selama ini. Ketegarannya seperti tak berbatas. Keras kepalanya seperti abadi. Dadanya selalu busung, kepalnya selalu penuh. Air mata bukanlah kawannya. Ia seperti sengaja bermusuhan dengan kesedihan. Kisah hidup bapak sendiri sangat filmis. Saya merasa, Laskar Pelangi adalah sampah daur ulang dan Pursuit of Happiness adalah lelucon tak lucu jika ingat bagaimana heroiknya bapak menjalani hidup. Bapak adalah film yang rolnya seakan tak pernah selesai untuk terus diputar. Bapak adalah sosok yang selalu diceritakan para motivator tentang bagaimana hidup yang keras mesti dijalani dengan kuat dan sabar. Dan karena ceritanya tersebut, saya selalu yakin, sangat yakin, Mario Teguh atau Tung Desem Waringin adalah hipokrit bangsat yang sejatinya tak pernah tahu apa-apa tentang hidup, tentang bagaimana rasanya menjadi realis yang pahit.
Angin Batang Air Angin batang air membawaku kembali lagi ke tempat itu tempat yang telah merampas kemacetan logika yang menyambar kepalaku, tempat itu pula yang mengentaskan riuh trotoar jalan di urat sepanjang tubuhku, juga tentang sesorot mata tiba-tiba lenyap dari pandanganku Deru angin yang gigil datang serupa itu menuruni lereng. Ia goda lembap jalanan, pucuk daun teh yang basah, serta sebuah tugu berpatung harimau loreng. Lain waktu aku pula digodanya, ia bawakan ingatan Tentang ingatan yang kandas di tempat kelam tertutup kabut. Sesekali, di tempat yang sama, aku dengar orang-orang berteriak parau mungkin kepada diri sendiri. Perihal daun teh yang diekspor ke Eropa, transmigran Jawa yang mendominasi pribumi, sampah-sampah dari kota-kota yang dikirim ke pedalaman, atau bule-bule di penginapan yang terlalu banyak maunya. Tapi, patung harimau itu masih serupa itu juga. Di emperan sebuah kedai, aku bersila menikmati kopi serta sebatang gepe
Jalur Air Rabu parak siang. Suatu malam, saat hujan masih gerimis, kuletakkan lembaran sajak yang pernah kutulis di atas bangku taman lalu kutinggalkan begitu saja. Lantas aku berlari menemuimu untuk berbisik di pangkal telingamu, “Telah luntur kata-kataku di bangku taman kota.”
Hari ini aku membenci diriku sendiri Hari ini aku membenci diriku sendiri. Aku membenci dedak kopi di cangkir dan benci api dan asap dalam kamar. Aku membenci rambut yang dipotong pendek dan benci bau-bau kecut aneh yang samar. Aku membenci cara penyiar televisi mengumandangkan berita palsu dan benci kepala pecah entah karena apa. Aku benci anjing menyalak di teras rumah dan benci roti sobek yang terkapar tiga hari; segan memakan dirinya sendiri. Aku benci apa-apa yang ada di teras dan benci suasana mencekam di kelas. Aku benci apapun ujud gerak tanpa makna, seperti kebencian kau pada sajak yang sedang kau baca dan kau butuh suara selain bahasa. Sedang aku butuh satu lagi bahasa sepi yang belum terisi apapun makna. (Studio Jangkrik, 2017)